Pedagang Kecil

Pukul setengah enam pagi. Kabut masih menyelimuti Desa. Saatnya Ibu mengambil waktu istirahatnya yang singkat setelah membereskan pekerjaannya membuat Kue Putu untuk dijual. Mendinginkan jari jemarinya yang tak henti menyesap panas dari buluh-buluh bambu yang digunakan untuk cetakan Kue Putu ini.

8343105059_565c837d12_n

Image Source : streetcorner on flickr

 

Dengan langkah bersemangat aku menjejakkan kaki disetiap pagi. Tak kuhiraukan sakit menekan di kepalaku karena menahan beratnya Kue Putu di dalam sebuah baskom enamel bercorak milik Ibu. Aku tak berpikir sakit, bagiku ini belum seberapa dengan apa yang telah dilakukan Ibu. Aku masih di kelas lima tingkat sekolah dasar. Tak terasa kebiasaan ini aku jalani beberapa tahun.

Teriakan lantang menjajakan Kue Putu ini berkali-kali keluar dari bibirku. Ada seruan khas di Desa kami yaitu “Olio”, kata yang dipakai untuk menjajakan sesuatu. Berharap orang-orang mendengarku dan membeli Kue Putu yang aku jual. Kadang perasaan risau ketika aku sudah tiba di penghujung desa dengan Kue Putu yang masih tersisa. Rasa bersalahku timbul jika aku membawa sisa pulang ke rumah. Namun tetap saja kadang aku membawa sisa dua sampai tiga porsi Kue ini. Meski pada banyak kesempatan aku pulang dengan gembira karena telah menghabiskan daganganku.

Selepasnya aku bersiap-siap berangkat ke sekolah. Ibu juga membuatkanku beberapa jenis jajanan untuk aku jual di sekolah. Kadang aku menitikkan air mata karena jualanku masih kembali dengan sisa.

Kupikir aku menjadi terlalu melankolik. Tapi apapun, aku tidak menyesalinya. Hanya saja aku menjadi begitu sentimentil. Sejujurnya bukan perasaan minder, tapi teman-teman sebayaku memposisikanku layaknya seseorang yang minder untuk berteman dengan mereka. Karena menurutku, masa kecil dan masa bermainku aku jalani dengan baik meski harus berteman dengan mereka yang usianya sedikit lebih muda dariku.

Seorang teman bertanya padaku. Apa kau tidak malu? Saat aku menggelar dagangan minuman dan snack di pinggir jalan sewaktu diadakan turnamen sepak bola se-kecamatan di Desa-ku. Kulihat mereka berjalan-jalan dengan riang, berjumpa teman yang lain dan berkenalan dengan teman-teman baru dari Desa tetangga. Aku akan bertanya dengan tegas. Siapa yang tak punya malu? Aku masih punya satu sifat itu. Tapi bukan tempatnya jika aku munculkan sifat ini karena sesuatu yang aku usahakan dan bukan suatu dosa atau kesalahan.

Pernah ada satu pengalaman saat banjir besar di Desa kami yang biasanya terjadi empat tahun sekali. Sepanjang jalan tertutup oleh air dan menyatu dengan Sungai. Kondisi alam seperti inipun tak membuat aku berhenti untuk tetap melakukan hal ini. Tekad kuat untuk membantu Ayah dan Ibu dengan segenap usaha yang bisa aku lakukan mengalahkan rasa takutku. Dengan mendayung perahu bersama satu orang temanku, kami berkeliling menjual hasil kebun, buah-buahan dan sayuran. Suka dukanya, sempat hampir putus asa dan ketakutan melawan arus deras sungai pada saat harus kembali ke Hulu. Tangan mungilku terasa sangat sakit ketika harus berjuang melawan arus dan tetap mempertahankan keseimbangan perahu yang tak ber-kemudi.

Aku bisa tersenyum saat menuliskan ini. Betapa aku sangat bersyukur dengan semua pengalaman ini. Yang kulakukan bukanlah sebuah keterpaksaan, bukan pula faktor eksploitasi anak dari orang tuaku. Karenanya aku buktikan dengan tetap menuai prestasi di sekolahku.

Hal yang mungkin terlihat tidak indah, tak selalu seperti yang terlihat selama kita bisa memetik hikmah. Dengan sedikit pengalaman dan pelajaran ini mendorongku untuk tumbuh dan jadi lebih baik. Demi diriku, para orang tua, anak-anak, dan orang-orang yang berkomentar aku menuliskan ini sebagai penjelasan bahwa aku menikmati semua ini.

2 thoughts on “Pedagang Kecil

Leave a comment